Jumat, 22 Juli 2011

Mletiz Bukan Asal Mekanik Utak-Atik

Mletiz Bukan Asal Mekanik Utak-Atik

Photo List

Muda, pintar, banyak relasi sehingga duit datang sendiri. Sudah tentu impian banyak orang. Tapi proses mencapai hal itu banyak tantangannya. Rela meninggalkan keluarga dalam waktu yang cukup lama, meninggalkan kebiasaan darah muda yang suka nongkrong-nongkrong tidak jelas dan segudang ritual lainnya. Siapa yang bisa tahan?

Harris Sakti Prabowo adalah sosok dari sekian banyak pemuda yang sukses menjalankan ritual untuk berprestasi. Mojang kelahiran 24 Februari 1986 ini, di dampuk Yamaha Indonesia sebagai mekanik te- o- pe alias Top markotop.

“Resminya mulai bergelut dengan mesin tahun 2006. Setelah menjadi montir “terbang” selama dua tahun. Kira –kira awal 2008. Yamaha menawarkan saya untuk membesut salah satu tim balapnya” ujar alumnus SMK Muhammadiyah Jogjakarta ini.

“Waktu saya kecil suka mengotak-atik macam-macam mesin kecil. Meski bisa bongkar tak bisa masang lagi. Ndak papa lah” ucapnya sambil terkekeh he he he.

Filosofi Si Mletiz
Tak perlu lama Harris menjadi mekanik andalan Yamaha. Mletiz begitu sapaan akrabnya. Cukup gampang beradaptasi dengan kawan-kawan mekaniknya yang notabene lebih tua. Di saat itulah Ia banyak belajar, tanya ini itu tanpa canggung dan malu ke rekan seprofesinya.

“Kami tumbuh dan berkembang bersama di Yamaha. Cara pandang dan filosofi kerja keras dan kerja sam antara Mletiz dan Tri jaya Racing Team. Telah mengantarkan kita semua pada tahap ini. Sebuah tahapan yang cukup bagus meraih prestasi bagus di kejuaraan balap tanah air” jelas Rudy Hadinata, Owner & Manager Team Trijaya Racing.

Istilah banting setir pun berlaku bagi mletiz. Dulu saat ia sekolah tidak mengambil jurusan mesin, seperti pekerjaannya sekarang. Jurusannya malah seputar setrum menyetrum alias kelistrikan. Tapi berkat semangat dan pergaulannya. Pemuda yang juga mengidolakan BJ Habibie ini, terus mengasah kemampuan di dunia mekanik balap.

“Prinsip saya dalam bekerja adalah teliti. Pokoknya yang teliti dah. Apalagi ini soal mesin. Sedikit “meleng” (hilang konsentrasi) fatal jadinya”

Kenapa teliti? Dunia teknologi semakin maju. Mekanik jaman sekarang tak perlu lagi meriset seabreg puluhan komponen motor. Dengan bantuan alat seperti Denu Test (alat ukur kekuatan motor) semuanya menjadi mudah. Cukup pasang kabel ple`k …ple`k, terus tinggal colok saja. Denu Test mulai bekerja. Output-nya didapat ukuran kompresi sekian, ukuran spuyer sekian, rasionya sekian dan sebagainya.

Nah disinilah ketelitian mekanik di uji. Seberapa cermat ia membaca hasil resume tersebut yang kemudian ia harus meng-compare lagi dengan lintasan, karakter pebalap dan ketahanan mesin.

Kini, berkat ketelitian Mletiz. Ia dipercaya Yamaha memegang tiga tim balap sekaligus. Seperti tim Yamaha Eka Putra Kencana (Sumut), Yamaha Mandala IMI (Lampung) dan tim Yamaha Tri Jaya Racing (Bandung). Itu yang tercatat brader. Diluar itu, selama tim-tim Yamaha butuh dukungan dia, tanpa sungkan Mletiz membantu tim yang membutuhkan bantuannya.

Jeremy Burgess Ungkap ‘Rahasia’ Ducati

April 22, 2011
By
MotoGP Mania – Masih belum sempurnanya performa Valentino Rossi bersama Ducati GP11 terus mengundang tanda tanya. Apakah karena pengembangan motor yang belum sempurna, ataukah murni karena faktor cedera The Doctor? Atau malah dua-duanya? Wawancara chanel TV Spanyol RTVE dengan Jeremy Burgess, crew chief Ducati, mungkin bisa sedikit menjawab teka-teki tersebut.

jeremy burgess1 Jeremy Burgess Ungkap Rahasia Ducati
“Kami ingin membuat Ducati dapat digunakan oleh semua rider, seperti yang kami lakukan dengan Yamaha”, kata Burgess.
“Rider yang kurang berpengalaman akan membutuhkan motor yang lebih rider friendly” lanjut mekanik handal itu. “Ini adalah tujuan Ducati. Tetapi kita butuh waktu untuk memperbaiki, mungkin.. sebulan lagi dan setengahnya. Stoner sangat kuat di tahun 2007, tapi setelah itu ia berjuang untuk menyelaraskan kesuksesan tersebut. 2011 akan menjadi tahun yang sulit, karena merupakan yang terakhir dengan 800(cc) dan kita perlu bekerja pada 1000(cc) di waktu yang bersamaan”.
Selanjutnya, Burgess menyampaikan tujuannya yang bukan sekedar ingin menang bersama Rossi tetapi membuat rider lain yang menunggang Ducati juga bisa ikut tampil kompetitif.
“Saya akan senang jika semua rider Ducati datang kepada saya setelah musim dan berkata, ‘terima kasih!” Desmosedici perlu lebih friendly, tetapi untuk mengubahnya kita perlu memahaminya”
“Waktu adalah musuh kita sekarang, dan tidak pernah cukup (waktu) untuk pengujian. Saat ini kita terlalu lama untuk menemukan setup yang tepat.”
Sementara tentang kondisi Rossi, Burgess mengatakan jagoannya sudah 90% fit untuk tampil di seri Estoril, Portugal.
“Rossi berada di 90% kebugaran di Portugal, tetapi optimis ia siap untuk menang. Kita perlu tetap bekerja di setup dan keseimbangan motor. Kita harus memiliki beberapa pembaruan di Estoril,. baik sebelum dan setelah balapan, dan sekarang bagian terbaik menatap musim ini. Kami tahu babak awal akan sulit,.. tidak begitu banyak untuk motor tetapi untuk bahu Valentino”
Sumber: RTVE via GPone
facebook Jeremy Burgess Ungkap Rahasia Ducati
Jeremy Burgess (16 April 1953 in Adelaide Hills), is an Australian motorcycle racing chief engineer, having worked with three world champions: Wayne Gardner, Mick Doohan and Valentino Rossi.[1] He was also a mechanic on Freddie Spencer's team when Spencer won the 500cc World title in 1985. Burgess learned his GP skills from the legendary American crew chiefs, George Vukmanovich and Erv Kanemoto for whom he worked in his early years.
Winning machines prepared by Burgess range from the Suzukis of Randy Mamola to the Hondas of Ron Haslam, Freddie Spencer, Wayne Gardner, Mick Doohan and Valentino Rossi to the Yamaha of Valentino Rossi. Since July 1980, these riders have won 157 GP/MotoGP races (as at 2 November 2009) and a total of fourteen World Championships on motorcycles that "JB" has either prepared himself or whose preparation he has overseen as crew chief. Burgess's machinery have achieved over 280 podium finishes.

Early life and racing career

Born on a farm in the Adelaide Hills in 1953, he grew up around machinery, first driving aged 8 and owning his first car aged 12.[2]
Three days after leaving school, he bought his first race track bike, a 1969 Suzuki T500 Cobra. From 1972 through 1979, he rode on the Australian racing circuit, racing against Gregg Hansford, Warren Willing, Kenny Blake and Harry Hinton.[2] His own racing efforts culminated in his purchase of a Suzuki RG500, with which he had much success due to the reliability of his preparation.

Heron Suzuki: 1980-1983

Looking to extend his racing career, in February 1980, Burgess decided to visit Europe to observe the Grand Prix racing scene. But he quickly figured out that he wasn't as young or as well financed as he would need to make it.[2]
Staying with a friend in Surbiton, Surrey, who worked for Suzuki UK,[2] at Burgess's request his friend put his name forward for a mechanic's job with Texaco Heron Team Suzuki at Beddington Lane in Croydon, South London. He already knew team racer Graeme Crosby (who he had raced against); mechanics Mick Smith and crew chief George Vukmanovich (who worked as a mechanic on the Australian circuit in 1978); and had met Randy Mamola in New Zealand in 1976.[2]
Employed as a mechanic on Mamola's GP team, in July 1980, Mamola won the Belgian GP. Burgess remained with Mamola and Vukmanovich at Suzuki until 1983,[3] when he moved to Honda with whom he was to stay for the next 21 years.[1]

Honda: 1983-2003

Moving to Honda, Burgess became chief mechanic to British rider Ron Haslam. In 1985, Burgess was transferred by Honda to Freddie Spencer's support team working for crew chief Erv Kanemoto and preparing Spencer's 500cc machinery. 1985 was Spencer's remarkable "double" year when he won the 250cc and 500cc World Titles, the first time Burgess had prepared a World Championship-winning motorcycle.
The following year, 1986, Burgess was promoted to crew chief of fellow Australian Wayne Gardner, who won the title the following year (1987). In 1989, Burgess became crew chief to Mick Doohan, who went on to win Premier World Championships in five successive years between 1994 and 1998.
After Doohan retired in 1999 due to injuries, Burgess was thinking about quitting; he had witnessed too many major crashes and allegedly didn't want to be a part of it any more. But when Valentino Rossi was given the opportunity to race with Honda, he said the only way Honda would get him was if Burgess was his engineer.[4] Burgess became crew chief to Rossi in what was Rossi's debut year riding in the premier (500cc) class, and helped mastermind Rossi’s seven world titles (five in successive years from 2001 to 2005) in 500cc/MotoGP.

Yamaha: 2004-2010

In 2004, Rossi moved from Honda to rival manufacturer Yamaha accompanied by Burgess and other crew members.[1] Despite different machinery and only a few weeks Yamaha experience, by April 2004, the Rossi-Burgess partnership had transformed Yamaha's previously mediocre success into a victory at their first title race, the South African GP at Welkom.

Ducati: 2011-present

In post-season 2010, Rossi signed a two year contract with Ducati for the 2011 and 2012 seasons and once again convinced Burgess to be part of his team. Burgess transfered most of his loyal crew, mainly Australians and New Zealanders, who quietly get on with their work race after race.

Theory

Burgess is not a man to mince his words and once expounded his famous "80/20" theory: In a motorcycle race, the contribution of the rider is 80% and that of the bike is 20%. This was despite the belief of Honda management that even a middle-ranking rider could win on their Grand Prix machinery. Rossi's successful move to Yamaha proved the veracity of Burgess' theory.

Personal life

Burgess married a lady who worked for Rothmans during his time with Doohan. The couple have two children, both girls, and live in Australia.[2] Burgess’ other passion is Australian rules football team the Adelaide Crows.





 


 

Sebuah artikel di M+ minggu ini mengabarkan, Kawasaki mempercayai Ibnu Sambodo menangani tim supersportnya yang akan terjun di ajang PARRC. Tim ini akan menerjunkan pembalap M. Fadli dan Fujiwara asal Jepang. M. Fadli sendiri ane nilai sebagai pembalap supersports terbaik Indonesia saat ini. Masuknya suhu korek terbaik Indonesia saat ini, Pakde, alias Ibnu Sambodo yang juga aktor intelektualnya tim Manual Tech dari Yogyakarta, semakin menjamin daya gedor Kawasaki di ajang Supersport Asia ini. Dengan hadirnya Tim Ijo ini, sepertinya PARRC tidak lagi menjadi balapan one make race Yamaha R6.
Tanggal 8 Januari ini, bahkan Ibnu Sambodo dan Kawasaki dikabarkan melakukan latihan tertutup di Malaysia  untuk melihat perkembangan riset motor 600 cc mereka (Sentul ancur sih…ayo, buruan dong ngaspalnya…). Seperti yang duluuu sudah dibahas, ZX-6R sudah seimbang lah dengan R6, bahkan beberapa media menganggapnya sebagai yang terbaik di kelas supersport. Artinya, kita bisa berharap lumayan tinggi kepada M. Fadli.
Bagaimana dengan Ibnu Sambodo, best tunner Indonesia saat ini (Menurut versi Sesat Awards-red)? Blog sesat yakin Pakde, sapaan akrab Ibnu Sambodo,  cukup mumpuni untuk itu, meskipun selama ini lebih dikenal sebagai tunner bebek. Doi bukan orang yang gaptek, doi bisa memanfaatkan teknologi, jago riset dan jago setting! Terbukti, ketika di Suzuki, Suzuki yang juara…Ketika di Kawasaki, giliran Kawasaki yang juara! Terlebih lagi di sirkuit besar macam Sentul, korekan Pakde semakin tak terkejar!
Bagaimana di PARRC nanti? Soal menaikkan tenaga, bebek saja di tune up dari 8 dk menjadi 24 dk, nah, kalau mainan supersport, bisa-bisa tenaga 120 dk jadi 260 dk tuh kalau korekannya seextrem mentune-up bebek! Bisa-bisa Jeremy Burgess minta berguru sama Pakde hihihi…
Permasalahan yang blog sesat lihat disini adalah, apakah talenta Pakde akan terpakai maksimal? Sebab, di PARRC aturannya ketat, ubahan motor bisa dibilang minim! Sedangkan kekuatan Pakde yang paling sakti adalah mendongkrak power motor! Bisa-bisa kreatifitas Pakde mati karena terbentur regulasi! Namun, di sisi lain, Pakde masih bisa belajar hal-hal lain yang penting dalam balapan, misalnya setting ban dan suspensi moge. Pengalaman inilah yang penting kedepannya kalau kita mau terjun ke supersports dengan porsi lebih besar.
Untuk memanfaatkan otak tuner pentium 7 Ibnu Sambodo, Kawasaki sebaiknya menyiapkan 2 motor dengan standard tune up berbeda. Motor pertama yang di tune-up untuk balap PARRC, sedangkan motor kedua adalah wahana tempat Pakde berkreasi bebas! Atau minimal memakai satndard tuning WSS yang jelas-jelas lebih longgar! Saat latihan, ada baiknya pembalap menggunakan motor yang bertenaga jauh lebih besar, sehingga refleks mereka plus instingnya meningkat, sehingga ketika race menggunakan motor yang lebih jinak, mereka bisa lebih memaksimalkan kemampuan motor.

Kawasaki Edge Ibnu Sambodo, Ilmu Fisika Model Juara Asia

Ibnu Sambodo sukses mengantar Kawasaki dan Hadi Wijaya menjadi juara Asia. Kuncinya, hanya dengan ilmu fisika dasar yang membalik logika pemikiran yang biasa diterapkan oleh banyak mekanik di Indonesia.

Sudah jadi logika umum, balap di udara bertemperatur rendah, mekanik selalu utak-atik karburator. Makin rendah temperatur,maka campuran bahan bakar dibikin sekering mungkin.

Tapi sebaliknya, bila temperatur panas, maka bahan bakar dibikin kaya. Dengan kata lain dibikin boros. Agar mesin tidak kepanasan dan meleduk akibat overheat. Duaarr...


Nah, logika inilah yang dibalik oleh Pakde, sapaan akrab Ibnu. Menurutnya, bermain di Qatar yang dipentas malam hari dengan suhu udara 22 derajat celcius , campuran bahan bakar malah dibikin kaya. Lebih kaya daripada seri Sentul yang dihelat siang hari dengan suhu 28-31 derajat celsius.

Di Qatar, jetting Kawasaki Edge yang berkarburator Mikuni 24 ini diisi dengan perbandingan 240/35. Padahal, saat di Sentul yang bersuhu terik cuma menggunakan spuyer 200/40.

Alasannya, simpel. “Ini bukan melawan logika berfikir. Tapi, saya hanya menggunakan ilmu fisika,” tegas pemilik tim Manual Tech ini. Jelasnya begini. Untuk menghasilkan kinerja mesin mesin yang kuat, ada dua hal yang diperlukan dalam hal pendinginan. Yang pertama, pendinginan untuk mengantisispasi panas mesin, dan pendinginan untuk mengatisipasi temperatur udara.
Di Qatar yang bermain malam hari, memerlukan bahan bakar lebih banyak. Logikanya simpel, sama seperti kenapa kita memerlukan choke untuk menghidupkan motor di pagi hari. Makin dingin temperature udara di luar, makin butuh campuran bahan bakar dan udara lebih banyak.

Itulah kenapa Ibnu selalu membawa alat yang berjuluk thermo hydro. Alat ini untuk mengatahui suhu, kelembaban udara dan juga arah dan kecepatan angin. Setelah sampai di negara tempat balapan berlangsung. Tidak lupa membuka website ramalan cuaca untuk mengetahui cuaca setempat. Setelah itu baru deh dicocokkan dengan alat canggih itu.

Dari sini, akan terlihat patokan setingan. Apalagi Qatar baru pertama dipakai balapan bebek, sehingga tidak ada data rujukan. Dari data cuaca itu baru akhirnya diketahui, ”Bahwa kelebaban dan temperaturya mirip dengan balap di Cina. Makanya, seting jetting yang dipakai tidak jauh dengan Cina,” tambah pria yang tidak banyak omong ini.

Kecepatan dan arah angin, diperlukan dalam seting gir. Apakah angin searah trek lurus Qatar yang berjarak 1.140 meter ataukah berlawanan. Bila searah, maka bisa menggunakan perbandingan gir lebih berat. Tapi, bila berlawanan, menggunakan gir lebih ringan.

Dari pengukuran, diketahui arah angin berkecepatan 15 km/jam dan berlawan dengan trek lurus. Ibnu pun menggunakan perbandingan gir 15/37.

Hanya dua hal ini saja yang diutakatik. Selebihnya sama saja dengan seri sebelumnya."Karena keterbatasan waktu dan masih buta dengan kondisi sirkuit, makanya tidak ada perubahan besar di dalam engine. Dan bila terlalu bereksperimen, takutnya malah jadi berbahaya," khawatir Ibnu.

Apalagi selisih poin antara Hadi Wijaya dan Denny Triyugokurang hanya 5 poin. Kesempatan Hadi Wijaya merebut juara, ya hanya di seri final ini. Makanya, durasi kem tetap dipatok 274 derajat pada lift 1 mm. Sementara klep masih mengandalakan ukuran 27,2 dan 23,2 mm.

Berbekal ilmu fisika, Hadi pun sukses menjadi juara Asia. (motorplus-online.com)

DATA MODIFIKASI
 CDI : Rextor
Karburator : Mikuni 24
Klep : 27,2 dan 23,2
Spuyer : 240/35
Gir : 15/37